Sunday, August 23, 2015

Martabak Manis [cerpen]

Ini tugas cerpen bahasa Indonesia.

Gue kerjain waktu jam pelajaran Bahasa. Hasilnya gak memuaskan. Tapi tetep mau gue post. HAHAHAHAHA. Karena gue memang suka mamer (walaupun ceritanya emang gka bagus. Tapi, nggak apa-apa santai aja. HUAHAHAHAHAHA.)

Lah, napa gue ketawa mulu.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

    "Hoam... Udah jam berapa, nih?" tanyaku pada diriku sendiri. Dengan malas, aku terduduk di ranjang seraya mengucek kedua mataku yang penuh dengan belek. Lalu, kuhadapkan badanku pada cermin di bagian kiri tempat tidurku. Kubangan hitam di bawah mataku seakan menebal 2,3 sentimeter setiap harinya. Pipi tembam yang  menghiasi wajahku sekarang menciut menjadi tirus. Senyum yang selalu mengembang di bibirku dulu sudah hilang berubah jadi kerutan. Satu menit kemudian, aku sadar aku terlambat. Jam sudah menunjukan pukul satu siang.

     Tepat setelah aku sadar, kuhentakan kedua kakiku menuju ke kamar mandi. Segera aku menyalakan kran air dan kuarahkan wajahku dihadapan pancuran yang dikeluarkan. Seketika itu juga aku berteriak, "ANJEEEEEEER!!!" Ya, aku salah menyalakan kran air. Aku tekan kran untuk air panas. Hasilnya aku berteriak sepanjang aku mandi.

    Setelah mandi dan bersiap selama 30 menit (atau bisa disebut dengan mengagumi keindahan wajahku sendiri di depan cermin), aku mengampil handphone dan menelpon Kavel, pacarku. Setelah nada dering terakhir terdengar suara Kavel di seberang sana, "Selamat pagi, Kay. Tumben kamu udah bangun." Suaranya seraknya yang sering kudengar seakan masih menghipnotis hidungku hingga mimisan (nggak deh, aku nggak se-berlebihan itu.) Spontan, tanganku bertolak pada pinggang. "Aku kan memang wanita yang rajin, Vel." Aku sendiripun ingin muntah mendengarnya. Entahlah, aku harap Kavel baik-baik saja mendengarnya.

    "Sorry ya, Kay. Kayaknya, kita nggak bisa jalan lagi malem ini," gumam Kavel dengan ragu. Aku berusaha memakhluminya. Memang, dalam satu bulan ke depan, ia akan bertugas ke suatu tempat untuk pekerjaan. Mungkin, ia memang sedang sangat sibuk.

    "Gak apa-apa, kok. Kerja yang bener, ya! Supaya kita bisa cepet nikah! Hahahahaha," gumamku. Aku merasa tawaku terdengar hambar. "Ya udah, aku kerja dulu ya." Setelah bicara singkat seperti itu, Kavel mematikan telponnya. Aku menghela napas sejenak dan merasakan perbedaan antara kami berdua. Suasana pembicaraan aku dan Kavel sudah berubah menjadi canggung.

    Aku akui kami memang sudah jarang ketemu dikarenakan Kavel sibuk sekali. Tapi, apakah ini pertanda kalau kami berdua akan......... ketemuan dan makan martabak? Oke, maksudku apakah ini artinya kita berdua akan pu...tus?

    Ku tampar pipi kananku untuk menepis segala pikiran burukku. Sedetik kemudian, aku menyesali tindakanku atas pipiku yang malang ini. Aku mulai menekan-nekan pelipisku layaknya orang yang depresi. "Kayaknya, gue sudah gila," bisikku pada diriku sendiri. Bahkan, aku membalas pembicaraan dari diriku sendiri, " Iya. Gue rasa gue mengidap penyakit jiwa. Lebih baik, gue tidur lagi. Daaan, oh ya! Gue lupa hari ini perlu ambil naskah dari penulis. Waaaaa, kenapa gue bodoh sekali hari ini?"

    Tetap saja, akhirnya aku tetap tertidur. Ketika bangun aku menyadari bahwa hari ini aku sama sekali tidak produktif. Keluar dari kamarpun tidak. Lalu, jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Akhirnya, kuputuskan untuk menjadi seorang Kayla yang produktif. Aku mengambil uang di dompet dan berlari untuk beli martabak. Ahhhh martabak always listening, always understanding.
 
     Aku berjalan menyusuri jalan dan melihat ranjau-ranjau (baca: toko pie susu) yang membuat aku beralih dari martabak. Dari kejauhan, aku melihat dua pasangan cewek-cowok yang sedang bermesraan di sebuah kedai martabak. Setelah itu, kuhampiri kedai martabak itu untuk memesan satu loyang martabak manis keju.

     Badanku membeku ketika mengetahui bahwa cowok dan cewek itu adalah Kavel dan sekretarisnya. Kemudian, aku memberanikan diri untuk menampakan diriku di hadapan mereka berdua. Sudah kususun kata-kata yang kejam untuk menusuk hati mereka, namun yang kulakukan malah menangis sesenggukan di hadapan mereka. Dan yang lebih kejamnya, Kavel terlihat sama sekali tidak peduli terhadapku. "Ayo sayang, ada orang gila. Kita pergi aja. Nggak penting." Lalu setelah mencetuskan kata-kata itu, ia merangkul 'pacarnya' dan berlalu dari kedai Martabak itu.

     Setidaknya kalimat "Biar aku jelasin dulu," layaknya di sinetron lebih baik daripada meninggalkan dan memeberikan julukan orang gila. Dan yang melakukan itu adalah pacarku sendiri. Uh, maaf maksudku mantan pacarku. Perasaan menyesal, sedih, kecewa, dan lelah terus menerus mengacak-acak pikiranku. Makhluk bajingan yang kukira sedang sibuk bekerja, ternyata sedang sibuk mengerjaiku untuk wanita yang (tentu saja) lebih jelek dariku.

    Kedai martabak sedang ramai saat itu. Akhirnya, aku duduk di meja bekas pasangan-super-mesra-dan-menjijikan dan pelayan datang menyajikan pesananku. Dan ya, aku masih menangis. Bahuku masih bergetar-getar. Dan yang paling membuat suasananya makin galau adalah, tiba-tiba hujan turun dengan deras sekali.

   Tanganku tak berhenti mencekoki martabak ke mulutku. Tatapanku sudah buyar ditutupi oleh air mata. Telingaku sudah tidak cekatan. Namun, aku menangkap suara dari sebrang kursi. "Hai, kamu kenapa nangis?" Pikiranku yakin ini tidak nyata dan hanya khayalan saja. Namun, telingaku bilang ini kenyataan. Akhirnya suara itu bicara lagi, "Halo? Kamu kenapa nangis?"

    Aku mengucek mataku dan melihat seorang pria bertubuh jangkung sedang duduk di hadapanku. Ternyata, suara itu memang nyata. Ia tersenyum padaku dan bertanya sekali lagi, "Kamu nggak apa-apa kan kalau aku duduk di sini? Abisnya, tempat duduknya sudah habis. Omong-omong, kamu kenapa nangis?" Dan setelah ditanya seperti itu, aku malah menambah volume tangisanku. Oke, kali ini aku terharu. Bahkan, orang asing lebih peduli denganku dibandingkan mantan pacarku yang bajingan itu.

   Kepalaku refleks mengangguk ketika ia bertanya bolehkah ia duduk di kursiku. Ya, aku harap dia bukan kriminal ataupun bajingan. Setidaknya, kriminal bisa masuk penjara dan dihukum mati.

   Ia mengulurkan tanganya, "Aku Ray. Kamu?" Senyumnya manis sekali. Aku membalas uluran tanganya dengan senyuman yang sepertinya kelewat lebar, "Hai, aku Kayla." Dan obrolan kami berlanjut sampai larut.

   Pertemuanku dengan Kavel di Kedai Martabak ini memang tidak berakhir baik, tapi siapa yang tahu kalau aku akan menemukan yang lebih baik di Kedai Martabak ini juga? Ketika ada ucapan selamat tinggal, pasti ada halo yang baru.
 
   Hatiku seakan berbisik padaku, "Hai Kayla, siap jatuh cinta lagi?"
   
FIN

Komentar bu Yuni: "Sepetinya ceritanya menarik, Lin. Ibu tunggu lanjutannya."

BU PLIS INI UDAH ABIS CERITANYA HUAAAAAA.

2 comments:

  1. Sepetinya ceritanya menarik, Lin. Gw tunggu lanjutannya (dan seloyang martabak).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya penulisnya juga menarik, Em. Gw tunggu bunganya. (DAN MARTABAK PLS 4 LOYANG THX)

      Delete