Saturday, January 11, 2014

It All Started With a Plane

FanFiction ini diambil dari novel Refrain&Melbourne karya Winna Efendi.

Ku genggam tangan Nata erat-erat sampai kuku-kuku jariku -yang belum sempat kupotong- membuat tangan Nata menjadi lecet.

Aku benci baunya. Aku benci tempat duduknya. Aku benci jendelannya. Aku benci sayapnya yang selalu bisa kulihat ketika aku menengok ke jendela. Aku benci segalanya yang ada di tempat ini. 

Ku penjamkan mataku, memulai doaku yang entah sudah berapa kali. Akhirnya, Nata angkat bicara, "Niki, gak usah panik. Just try to face your fear." Mungkin, tangannya sudah mulai kapalan karena ku genggam terlalu erat. Aku membalasnya, "I'm trying, mate." Bohong. Nyatanya, yang kulakukan dari tadi hanyalah terus mengumpat dalam hati. Dan tidak mencoba melawan ketakutanku.

Pesawat. Aku membenci benda ini. Ialah yang membuat temanku Laura, mati begitu saja. Aku sangat-sangatlah menyalahkan pesawat atas semua ini. Aku tahu, pilotlah yang mengendarai benda ini. Dan cuacalah yang menentukan terbangnya benda ini. The point is, I hate plane.

Jangan salah perngertian, aku membenci pesawat. Bukan "Aku benci naik pesawat."Aku tahu ini tidak masuk akal. Tapi, aku punya alasan. Alasan yang membawa pikiranku menapaki masa lalu.
--
"Gila, Nik! Gue gak percaya gue ada di dalem pesawat sekarang!", kata Laura, girang. Akupun terbawa suasana, dan ikut menjadi norak juga. "Iya! Kita kan harus gapai cita-cita kita setinggi langit! Dan, thanks to the plane yang udah membawa kita ke atas sini!" Laura membalas, "Dan yang kita lakuiin cuma duduk aja. Wow. How coo-"

Omongan Laura terpotong ketika pesawat yang kami naiki tiba-tiba berguncang keras. Dan seolah menjadi semakin keras seiring berjalannya waktu. Laura langsung memelukku, kemudian yang kurasakan hanyalah guncangan yang amat keras. Dan aku tak ingat apapun lagi.
--
Kubuka mataku untuk meihat sekitarku. Ku lihat jeansku yang robek, luka luka di tanganku, dan Laura yang masih kupeluk. Detak jantung Laura masih berdetak, walaupun lemah. Ku pandang wajahnya yang kusam dan penuh luka. Beberapa menit kemudian ia sadar. "Hei, Nik.." sapanya lemah. Aku tersenyum. Kemudian ia berkata lagi, "Muka lo masih cantik ya. Muka gue pasti ancur sekarang..." bisiknya lemah. Aku menggelengkan kepalaku. Terlalu lemah untuk bicara.

"Nik, kalo misalnya hari ini adalah hari terakhir mata gue terbuka lebar, gue akan bahagia di surga. Karena orang yang terakhir gue lihat adalah, sahabat gue. Please janji sama gue, lo harus lanjutin perjalanan kita ke Melbourne. Dan yang terakhir, jangan nangis liat gue mati. Semua orang di dunia ditakdirkan buat mati. Karena mati adalah akhir cerita dari sebuah buku hidup seseorang. Satisfaction in our life, is to be dead."

Aku memeluknya sambil terus menangis. Aku mendengar langkah kaki seseorang yang datang ke arahku, seseorang itu menghampiriku. Kemudian berkata, "Ayo! Cepet! Bentar lagi bakal turun hujan! Lo bisa berdiri kan? Biar gue yang gendong temen lo!"

Ku coba untuk mengangkat tubuhku. Tidak. Aku tidak bisa berdiri. Kemudian, aku berusaha kembali. Orang itu melihat ke arahku, "Gue rasa kaki lo patah! Tunggu di sini sebentar, ya!"

Tak lama kemudian, beberapa orang berdatangan dan menggendong jasad Laura. Aku dibantu berjalan oleh laki-laki yang menemukanku dan Laura kali pertama. Kulihat wajah laki-laki itu. Rambutnya cepak dan berkeringat. Lesung pipitnya sesekali menampakan diri.
Tiba-tiba, ia berkata, "Nata." Ia tersenyum padaku. Aku juga membalas senyumnya dan berkata, "Niki."

And it was the new chapter of my life. Akhir cerita persahabatanku dengan Laura. Dan awal perrcintaanku dengan Nata.
--
Kurasakan air mata mulai jatuh ke pipiku. I missed Laura so much. Kugenggam semakin erat tangan Nata. Kemudian, Nata menoleh ke arahku dan berkata, "Hei, Nik. Lo pasti tahu betapa sedihnya Laura karena lo baru bisa nepatin janjinya 5 tahun sesudah jatuhnya pesawat," Aku menjawab, "Susah, Nat. Ngelawan ketakutanku itu susah. Aku takut, Nat. Takut. That's it."

Nata berkata, dan mencium keningku, "Semua ketakutan lo itu berasal dari masa lalu lo. Jadi, lupain masa lalu lo. Karena masa lalu lo, lah yang membuat lo jadi takut kayak gini."

FIN.