Hidup Bagai Tangga

Kalau disuruh sebut satu orang yang paling berarti di hidup gue, Keinaralah orangnya.

Baru-baru ini, gue suka nostalgia sendirian. Senyum-senyum lihat potret kehidupan SMA gue yang suram dulu. Sahabat gue yang bisa diitung pake satu tangan. Foto gue dan adik gue yang berkembang sendirian tanpa orang tua dari waktu ke waktu.

Ah, Keinara. Apa kabar kamu sekarang?

...

Rambut panjang Keinara sedang digerai di hari Senin yang terik ini. Gue bingung, bisa-bisanya dia nggak kepanasan. Poni gue yang sekarang udah menjorok ke mata aja sudah bikin jidat gue basah keringat. Gimana kalau rambut dia? Akhirnya, dengan penuh keisengan tingkat tinggi, gue tarik rambutnya.

"Aaaaah! Ih, apaan sih, Ken?!" Teriakan khas kecewekan yang super-cempreng membahana di sekitar kelas. Gue salut sama keahlian ramal Kei. Belum juga dia nengok, dia sudah tahu siapa yang jambak rambutnya. Tanpa disuruh, gue langsung mengambil posisi duduk di sebelahnya. 

"Kei, kamu nggak kepanasan?" Tanya gue sambil menyibakan rambutnya ke sisi telinganya. Keinara menggelengkan kepalanya pertanda bahwa jawabannya tidak. Astaga, cewek ini pola pikirnya gimana, sih? "Kalo kamu nggak betah lihat aku begini, tolong ikatin rambut aku, dong. Nih karetnya," lanjut Kei sambil memberikan seutas karet yang lebih mirip dengan tali yang dililit berkali-kali.

Gue menurut dan langsung mengikat rambutnya. "Mau model apa nih, mbak?" Keinara menimbang sebentar dan memutuskan agar gue mengepang model fishtail. 

Karena gue punya adik cewek, urusan kepang-mengepang bukanlah masalah besar walaupun gue ini cowok tulen. Mama gue sudah meninggal lama sekali, sedangkan bapak gue sibuk bekerja menjadi kuli bangunan. Hal inilah yang bikin gue harus menggantikan peran ibu untuk merawat saudari perempuan  gue.

Tiga menit kemudian, hasil karya gue selesai dengan rapih. Kei mengambil sebuah kaca dari tasnya, terlihat begitu puas dan pura-pura membayar gue, "Makasih, Mas. Duh, aku emang cantik dari sananya kali, ya! Hihihi,"

Keinara memang perempuan yang amat manis, meskipun gue sama dia hanyalah sebatas teman super-dekat. Gue tahu dia mengidap asma yang berat, selalu ketawa walaupun lagi diejek karena penyakitnya, dan berusaha buat nggak berpikiran negatif akan suatu hal buruk yang lagi terjadi.
Buat gue motivator nomor satu ya, dia.

Setelah selesai mengepang rambut Kei, gue hendak keluar sekolah sebentar untuk menjemput adik gue yang masih kelas 3 SD. Ketika sampai di rumah, gue mendapati ayah gue tergeletak jatuh ke tanah begitu aja. Ayah gue keracunan obat kadaluarsa dan sayangnya, gue terlambat. Ayah gue sudah nggak tertolong.

Intinya, selang beberapa minggu, gue tidak lagi masuk ke sekolah. Gue menyibukan diri sendiri buat cari uang agar bisa menyekolahkan adik gue. Salah satunya jadi seorang kuli angkut di Pelabuhan. 

Sewaktu gue sedang membantu membawakan barang seorang cewek bertopi coklat, cewek itu angkat bicara, "Ken! Kamu ke mana aja, sih? Kenapa nggak pernah masuk sekolah? Aku bisa mati kalo nggak ada kamu!" Cewek topi coklat itu ternyata adalah Kei. Gue kaget sekali waktu itu.

"Kei, kamu ngapain ke pelabuhan? Sendirian lagi! Kamu udah gila, ya?"
"Kamu yang gila! Ninggalin sekolah tanpa kabar malah kerja di sini!"

Gue terdiam. Kami berdua memutuskan untuk menjauh dari keramaian dan mencari tempat yang lebih sepi untuk bicara empat mata.

Kei melanjutkan ocehannya, "Aku mau berangkat ke Lampung. Di sana ada kakak aku yang bakal ngobatin aku secara intensif. Kemungkinan besar, kita nggak bakal ketemu lagi."

Gue membeku di tempat, nggak tahu harus memberikan reaksi apa. Kenapa  semua orang yang berarti di hidup gue harus pergi? "Haha, Tuhan emang nggak adil ya. Ayah diambil, kamu juga mau pergi. Mimpi aku harus aku hapus gitu aja karena nggak ada biaya. Kenapa sih 'dia' terus-terusan nyiksa aku?" 

"Ken, kamu beneran udah gila, ya?" Gue diam lama sekali. Kei juga ikutan diam, terlihat berpikir.

"Hidup itu kayak naik tangga," katanya, menggantung. "Di langkah-langkah awal, kita masih semangat naikinnya. Tapi, ketika tangga itu makin naik, pasti kita udah mulai capek."

Gue tidak berkomentar, memperhatikan gerak-gerik jarinya yang seolah-olah sedang mendaki anak-anak tangga. "Tapi, ketika kita punya tujuan buat naikin tangga itu, masa mau berhenti gitu aja? Secapek apapun juga, tetap harus naik sampai ke lantai yang berikutnya dong! Kalau enggak, tujuan yang mau kita capai nggak bakal sampai ke kita."

Kei melanjutkan, "Tuhan itu adil, Ken. Makanya dia kasih kita sekelumit masalah-masalah supaya hidup kita nggak jadi bosen. Semakin gede masalahnya, dia semakin percaya kalau kita pasti bisa lewatin itu dengan baik."

Gue nggak bisa bicara apa-apa lagi selain tersenyum takjub, "Kei, kayaknya kapal udah mau berangkat. Ayuk, aku antar."

Setelah itu, gue nggak pernah bertemu lagi dengan gadis amat manis itu. Semoga Kei baik-baik saja di manapun dia berada sekarang.

...

No comments:

Post a Comment