Sunday, September 3, 2017

Pilihan Ganda

Setelah lulus dari SMA, guepun akhirnya diusir dari rumah.

Ya kali, nggak deh.

Dari April sampai Mei, gue selalu pergi kesana kemari, tujuannya cuma buat nyari kerjaan. Di bulan-bulan itu, gue ngerasa banget sisi ambisius gue sangat kontras dibandingkan sisi siku-siku badan gue.
Yailah, lucu abis.

Sebelum gue lulus, kak Ivan (pelatih teater gue yang minggu kemarin baru nikah, cieee selamat! *joget shuffle*) nawarin buat ikut KataK Summer Class. Awalnya, gue seneng banget nggak karuan. Lalu, kesenangan itu hilang begitu saja karena tawaran pekerjaan dan uang yang begitu menggoda.
Bayangin, tiap hari teman-teman di kelas ngomongin aktifitas mereka setelah lulus dan menyebutkan bahwa gaji SPG itu lumayan gede. Sampai akhirnya, gue bela-belain nggak jadi ikut cuma karena harus kerja di PRJ.

Setelah mengambil keputusan tersebut, gue dihantui oleh rasa menyesal yang amat tinggi dan sesak akut di dada serta komplikasi pada kisah cinta. Ye, bodo amat yang terakhir.

Tapi, karena gue menganggap teater adalah zona nyaman gue dan seperti lagu di Filosofi Kopi 2, kita ini insan bukan seekor sapi, jadi harus keluar dari zona nyaman. There I go, gue keluar dari "zona nyaman" dan berkelana mencari pekerjaan.

Sampai pertengahan bulan Mei, gue belum juga dapat kerjaan. Akhirnya, gue kontak teman seperjuangan Teater gue, Febriana dan bertanya apakah Summerclass masih membuka hati untuk gue? Karena gue udah bohwat nyari kerjaan dan gue tahu liburan bakal nggak ngapa-ngapain so why not?

Daaan...

BAM! Gue seneng parah waktu itu karena sutradaranya bilang,

"Summerclass selalu terbuka untuk Ailin."

Seketika, gue langsung ngejingkrak. Saat itu, gue tahu kalau keputusan yang gue ambil nggak salah.
Gue tahu kalau balik ke teaterpun zona nyaman gue tetap gue tinggalkan. Karena, ikut pentas baru berarti berani ngambil risiko hapalin naskah, belajar peran baru, ketemu teman-teman Summerclass yang awalnya saling jaim dan nggak kenal.

Tetapi, gue masih penasaran, "Kayak apa, sih jadi SPG itu?" jadilah gue tetep nyari kerjaan sampai akhirnya gue diterima di salah satu perusahaan wafer terkenal di Indonesia.

Yang lapisannya ratusan itu.

Di sinilah kebenaran pilihan gue diuji lagi.

Coba bayangin. Baru aja gue diterima dengan tangan terbuka di Summerclass, sekarang gue harus memutuskan kembali harus keluar Summerclass atau mengundurkan diri dari perjanjian kontrak sama wafer yang lapisannya ratusan itu.

AH. Berat badan hati ini. Di satu sisi, Teater itu kayak panggilan hidup. Di sisi lain, jadi SPG bisa nambah pengalaman dan duit walau nggak seberapa. Memang betul kata pak Gembus, pilihan hidup selalu muncul kayak mau pesen ayam di Gepuk. Pertama, disuruh pilih mau pesen apa. Terus, dikasih pilihan lagi mau bagian yang mana, dipikir tinggal duduk manis, eh malah disuruh pilih mau pedes apa sedeng cabenya. Elah, bang.

Sempat terpikir, "Apa gue jadi figuran aja, ya?" Tapi, bagi pak Sutradara, jadi figuran tetap bukanlah sebuah penyelesaian. Dengan berat hati, gue tetap harus memilih.

Setelah berembuk dengan hati sendiri, gue akhirnya konsultasi lagi sama pak Sutradara. Gue inget betul apa yang dia bilang,

"Ya, mau gimana lagi. Kamu tetap harus milih. Mau SPG atau Teater. Kita, sih bisa bikinin surat ijinnya bila memang perlu."

Lalu dibalas oleh hati gue yang pilu, "Ah elah. Kampret. Ternyata, mendingan bertepuk sebelah tangan daripada nentuin ginian."

Di saat-saat seperti ini pula, jiwa labil gue aktif. Gue hampir nggak jadi kerja demi Teater. Silahkan bilang gue bego atau tanyalah pertanyaan retorika terkenal ini, "Teater emang ngasilin duit?"

Dan guepun akan mendadak jadi idealis dan berkata, "Ya, tapi gue seneng kok ikut Teater." Ah, plot yang sungguh mudah ditebak dan bikin pengin berack.

Brb gue sakit perut beneran jadinya.

Ah, lega.

Karena gue suka hal-hal berlebih (kecuali lemak), jadilah gue memutuskan untuk menekuni keduanya. Meskipun gue tahu, salah satunya tidak akan berjalan maksimal.

Tapi, yang paling membuat gue senang adalah, selama sebulan penuh dari Juni hingga pertengahan Juli, gue sungguh produktif. Gabut adalah hal asing dalam hidupku, seperti lagunya Anang ft Syahrini, Jangan Memilih Aku.

Nggak ada hubungannya emang, bodo amat.

Lalu, hari-hari melelahkanpun dimulai. Aktivitas gue mendadak jadi padat. Nggak ada waktu main, adanya waktu istirahat. Jadi SPG tentunya punya target penjualan, dan menurut gue target yang dikasih nominalnya terbilang besar. Sedangkan gue tetap harus tetap hapalin dialog dan stay in character karena kebetulan gue malah jadi peran cukup utama. Gila, Tuhan ngatur hidup gue rapih bener. Sampe heran. Gue ngatur jadwal mandi aja susah.

Sebenarnya, setelah seminggu jadi SPG, gue bener-bener ngerasa nggak nyaman. Jiwa gue ngeluh terus-terusan. Perasaan gue bilang, "Ah, ini toh kerja nggak ada rasa. Hambar. Pengennya cepet pulang, semua kelar. Tujuan utamanya cuma cyen."

Ya, semua kerjaan tujuan utamanya cyen, sih. Tapi, gue bersyukur bisa dapet pengalaman berharga serta pelajaran kalau kita semua harus menghargai pekerjaan orang, sekecil apapun pekerjaan tersebut serta seberapa kecil ukuran lingkar dadanya. Nggak, deng.

Selain itu, gue juga dapat pencerahan: kalau dikasih pilihannya cuma dua, ambil aja dua-duanya. Karena pintu yang udah terbuka lebar nggak selalu terbuka buat kita. Kadang, kalau ada angin kencang menerpa, pintunya bisa ketutup sendiri dan nggak akan pernah kebuka lagi.

P. S Kecuali kalau soal UN, lo nggak boleh tuh pilih dua. Ntar error servernya. Ea. #SampaiJumpaVeberKestel2B #SekarangPakeMonitorCoi

Salam,


Theniarti Ailin,
yang kurang suka soal PG