Sunday, September 3, 2017

Pilihan Ganda

Setelah lulus dari SMA, guepun akhirnya diusir dari rumah.

Ya kali, nggak deh.

Dari April sampai Mei, gue selalu pergi kesana kemari, tujuannya cuma buat nyari kerjaan. Di bulan-bulan itu, gue ngerasa banget sisi ambisius gue sangat kontras dibandingkan sisi siku-siku badan gue.
Yailah, lucu abis.

Sebelum gue lulus, kak Ivan (pelatih teater gue yang minggu kemarin baru nikah, cieee selamat! *joget shuffle*) nawarin buat ikut KataK Summer Class. Awalnya, gue seneng banget nggak karuan. Lalu, kesenangan itu hilang begitu saja karena tawaran pekerjaan dan uang yang begitu menggoda.
Bayangin, tiap hari teman-teman di kelas ngomongin aktifitas mereka setelah lulus dan menyebutkan bahwa gaji SPG itu lumayan gede. Sampai akhirnya, gue bela-belain nggak jadi ikut cuma karena harus kerja di PRJ.

Setelah mengambil keputusan tersebut, gue dihantui oleh rasa menyesal yang amat tinggi dan sesak akut di dada serta komplikasi pada kisah cinta. Ye, bodo amat yang terakhir.

Tapi, karena gue menganggap teater adalah zona nyaman gue dan seperti lagu di Filosofi Kopi 2, kita ini insan bukan seekor sapi, jadi harus keluar dari zona nyaman. There I go, gue keluar dari "zona nyaman" dan berkelana mencari pekerjaan.

Sampai pertengahan bulan Mei, gue belum juga dapat kerjaan. Akhirnya, gue kontak teman seperjuangan Teater gue, Febriana dan bertanya apakah Summerclass masih membuka hati untuk gue? Karena gue udah bohwat nyari kerjaan dan gue tahu liburan bakal nggak ngapa-ngapain so why not?

Daaan...

BAM! Gue seneng parah waktu itu karena sutradaranya bilang,

"Summerclass selalu terbuka untuk Ailin."

Seketika, gue langsung ngejingkrak. Saat itu, gue tahu kalau keputusan yang gue ambil nggak salah.
Gue tahu kalau balik ke teaterpun zona nyaman gue tetap gue tinggalkan. Karena, ikut pentas baru berarti berani ngambil risiko hapalin naskah, belajar peran baru, ketemu teman-teman Summerclass yang awalnya saling jaim dan nggak kenal.

Tetapi, gue masih penasaran, "Kayak apa, sih jadi SPG itu?" jadilah gue tetep nyari kerjaan sampai akhirnya gue diterima di salah satu perusahaan wafer terkenal di Indonesia.

Yang lapisannya ratusan itu.

Di sinilah kebenaran pilihan gue diuji lagi.

Coba bayangin. Baru aja gue diterima dengan tangan terbuka di Summerclass, sekarang gue harus memutuskan kembali harus keluar Summerclass atau mengundurkan diri dari perjanjian kontrak sama wafer yang lapisannya ratusan itu.

AH. Berat badan hati ini. Di satu sisi, Teater itu kayak panggilan hidup. Di sisi lain, jadi SPG bisa nambah pengalaman dan duit walau nggak seberapa. Memang betul kata pak Gembus, pilihan hidup selalu muncul kayak mau pesen ayam di Gepuk. Pertama, disuruh pilih mau pesen apa. Terus, dikasih pilihan lagi mau bagian yang mana, dipikir tinggal duduk manis, eh malah disuruh pilih mau pedes apa sedeng cabenya. Elah, bang.

Sempat terpikir, "Apa gue jadi figuran aja, ya?" Tapi, bagi pak Sutradara, jadi figuran tetap bukanlah sebuah penyelesaian. Dengan berat hati, gue tetap harus memilih.

Setelah berembuk dengan hati sendiri, gue akhirnya konsultasi lagi sama pak Sutradara. Gue inget betul apa yang dia bilang,

"Ya, mau gimana lagi. Kamu tetap harus milih. Mau SPG atau Teater. Kita, sih bisa bikinin surat ijinnya bila memang perlu."

Lalu dibalas oleh hati gue yang pilu, "Ah elah. Kampret. Ternyata, mendingan bertepuk sebelah tangan daripada nentuin ginian."

Di saat-saat seperti ini pula, jiwa labil gue aktif. Gue hampir nggak jadi kerja demi Teater. Silahkan bilang gue bego atau tanyalah pertanyaan retorika terkenal ini, "Teater emang ngasilin duit?"

Dan guepun akan mendadak jadi idealis dan berkata, "Ya, tapi gue seneng kok ikut Teater." Ah, plot yang sungguh mudah ditebak dan bikin pengin berack.

Brb gue sakit perut beneran jadinya.

Ah, lega.

Karena gue suka hal-hal berlebih (kecuali lemak), jadilah gue memutuskan untuk menekuni keduanya. Meskipun gue tahu, salah satunya tidak akan berjalan maksimal.

Tapi, yang paling membuat gue senang adalah, selama sebulan penuh dari Juni hingga pertengahan Juli, gue sungguh produktif. Gabut adalah hal asing dalam hidupku, seperti lagunya Anang ft Syahrini, Jangan Memilih Aku.

Nggak ada hubungannya emang, bodo amat.

Lalu, hari-hari melelahkanpun dimulai. Aktivitas gue mendadak jadi padat. Nggak ada waktu main, adanya waktu istirahat. Jadi SPG tentunya punya target penjualan, dan menurut gue target yang dikasih nominalnya terbilang besar. Sedangkan gue tetap harus tetap hapalin dialog dan stay in character karena kebetulan gue malah jadi peran cukup utama. Gila, Tuhan ngatur hidup gue rapih bener. Sampe heran. Gue ngatur jadwal mandi aja susah.

Sebenarnya, setelah seminggu jadi SPG, gue bener-bener ngerasa nggak nyaman. Jiwa gue ngeluh terus-terusan. Perasaan gue bilang, "Ah, ini toh kerja nggak ada rasa. Hambar. Pengennya cepet pulang, semua kelar. Tujuan utamanya cuma cyen."

Ya, semua kerjaan tujuan utamanya cyen, sih. Tapi, gue bersyukur bisa dapet pengalaman berharga serta pelajaran kalau kita semua harus menghargai pekerjaan orang, sekecil apapun pekerjaan tersebut serta seberapa kecil ukuran lingkar dadanya. Nggak, deng.

Selain itu, gue juga dapat pencerahan: kalau dikasih pilihannya cuma dua, ambil aja dua-duanya. Karena pintu yang udah terbuka lebar nggak selalu terbuka buat kita. Kadang, kalau ada angin kencang menerpa, pintunya bisa ketutup sendiri dan nggak akan pernah kebuka lagi.

P. S Kecuali kalau soal UN, lo nggak boleh tuh pilih dua. Ntar error servernya. Ea. #SampaiJumpaVeberKestel2B #SekarangPakeMonitorCoi

Salam,


Theniarti Ailin,
yang kurang suka soal PG

Wednesday, June 7, 2017

Pertama Kali dalam Selamanya

Ya elah, judulnya kayak lagu Frojen.

Tau dufan kan? Buah yang banyak durinya itu, lho..

Jadi, ya.
Gue sebenarnya udah lama ke Dufan, cuma niat menulis baru terkumpul sekarang. Sehingga, ledakan-ledakan katapun baru timbul secara tiba-tiba. Hadeuh, ngomong apa, sih gue.

Kejadiannya beberapa hari setelah Ujian Nasional selesai. Gue minta izin ke mamak.

"Mak, pen ke dufan dah."
"Ngapain? Mo jadi bekantan?"
"Ye, kagak. Mau jadi halilintar."
"Oh. Ya udah, pergi aja."

Suatu keajaiban terjadi. Gue punya pacar mendapat persetujuan ratu ular sanca untuk ahkirnya menginjakan kaki di Dufan.

Jujur aja, berat rasanya hati gue waktu hendak meninggalkan rumah. Rasanya, apa yang gue nanti-nantikan dari dulu akhirnya terkabul. Gue sampai berpikir, jangan-jangan ini semua hanyalah angan-angan. Lalu, gue cubit pipi gue, lebam. Semua ini nyata. Air mata gue berlinang. Cupang guepun ikut girang melihat gue akhirnya boleh ke Dufan.

Cupang lu mah girang gegara akhirnya dia bisa bebas berenang tanpa harus sok diem dengerin curhatan lo.

Ya elah, bocor amat sih, lo!!!

ANYWAY, sebelum pergi ke Dufan ada latihan graduation gitu. Jadi, cuma mau ngabarin aja kalau gue ini sudah resmi melepas predikat seragam putih abu-abu. Yeay!

Minta dicongratsin kan lo?

 Ya elah, ketahuan. Kesel bat gue.

 Oke, fokus.

Setelah balik dari sekolah, gue langsung ngacir ke biawak peliharaan gue yang ditaliin di parkiran sepeda. Ternyata, pas gue dateng, biawaknya udah ilang. Gue tanya orang sekitar, ternyata dia udah resmi. Gue sedih. Dia udah resmi meninggal....

...meninggalkan jejaknya di hati gue demi kawin dengan biawak sesama jenis. Sakit hati sih enggak. Tapi, kenapa dia pergi nggak SMS gue dulu, sih? Pergi tanpa kabar tuh lebih menjengkelkan daripada nyuapin makan ikan cupang terus ikannya berenang ke sisi lain.

Kesal. Gue diam di tempat pertemuan terakhir dengan biawak gue. Termenung selama 5 menit, 10 menit, 15 menit, 30 menit, sampai temen guepun yang udah di halte Transjakarta telpon kalo gue bakal ditinggal karena kelamaan.

Akhirnya, guepun bergegas pergi ke halte dengan sedikit lemas karena masih terbawa suasana sedih tragedi biawak. Alhasil, guepun ditinggal karena jalannya kelamaan.

Nggak, deh. Untungnya, gue punya teman-teman baik yang mau menopang air mata gue di atas bahunyav setiap kesedihan menerpa. Cie.

Namun, semuanya berubah ketika mereka mendengar gue sedih karena biawak yang lebih memilih kawin ketimbang temenin gue ke Dufan.

Oke, daripada post ini menjadi tidak informatif dan edukatif gegara kisah sedih biawak kawin...

Emang kapan post lo bisa informatif dan edukatif, Lin?

haDEUH ni tulisan miring kaga bisa mendukung gue sedikit, ya?

OLRAIT, jadi kalau lo cipe dan tinggal di sekitar Glodok, lebih baik naik TJ ke Ancol daripada harus naik mobil online karena ongkosnya cuma kepotong 3500 dair kartu flazz yang kalian punya.

Nggak punya kartu flazz? Bisa bikin kartu TJ yang berakhir memakan ongkos lebih banyak. HUAHAHAHAHAHAH.

Atau ini kesempatan kamu buat nyari jodoh. Nih sedikit tips dari gue.
0,5. Pastikan ada orang di belakang kamu. Bagus kalau lawan jenis.
1. Keluarin kartu pelajar/KTP, atau kartu apapun, love and berry, animal kaiser, yugioh, kartu remi, kartu tarot, kartul juga boleh, terserah pokoknya, lalu pura-puralah tap kartu kamu di alat buat tap kartu.
2. Lalu, beraktinglah panik sebaik-baiknya. Jangan terlalu lebay sampe guling-guling di lantai terus khayang, ntar direkrut grup sirkus keliling.
2, 5. Cukup dengan bilang, "DUH! MATI AKU!" dalam bisikan-bisikan pelan. Tapi, jangan pelan-pelan banget ntar disangka mbah dukun lagi nyantet mesin tap TJ.
3. Lalu, orang di belakangmu kemungkinan akan menjadi jodoh yang tepat untuk menangkapmu di kala jatuh.

Kalau udah masuk ke wilayah nunggu TJ, lo berarti udah lolos. Karena posisinya lo lagi di halte Kota, sekarang carilah koridor yang akan mengantar lo ke halte mangga dua square. Kalo nggak ada yang mau nganterin elo, ya udah lompat aja. Kadang dalam kehidupan yang keras kita cuma bisa pasrah. #eh

Setelah ketemu TJ yang menuju ke halte Mangdu Square, lo naik. Lalu, turun di halte Mangdu Square dan cari lagi TJ yang mau ke Ancol. Ini lah yang dinamakan orang sebagai teleportasi.

Transit, bego.

Yha, itu.

Sesampainya di Ancol, kalian bisa turun. Tapi kalo jatuh cinta sama mas penjaga pintu TJ terus kalian mau nempel-nempel sama masnya terus dan nggak mau turun, yah terserah sih. Hidup ini kan pilihan. #cigitu

Selepas turun dari TJ, perhatikan barang bawaan anda dan hati-hati melangkah. *ala-ala voice over yang menggema tiap naik TJ*

Hal yang harus diingat adalah, masuk Ancol tuh bayar. Untuk itu, kalian harus siapin duit sebesar 25k untuk membayar tiket agar bisa masuk Ancol. Kalo nggak punya duit lagi, hubungi jodoh yang tap-in kartu TJnya buat kamu supaya kamu bisa pinjem duitnya dulu.

Atau kalo mau gampang, pinjem aja sama temen dulu. Ntar gantiinnya baru pake duit jodoh yang ngetapin kartu Tj buat kamu.

"Ya elah, Lin. Ribet bener idup lo." kata pembaca dalam hati dan hendak menutup blog ini karena kezel bat bacanya.

Menuruni tangga menuju Dupan

                                              Tampak dari atas jembatan:
Nama: Ailin, Keahlian: Foto Ngeblur
Ketika kamu sudah berhasil turun dari jembatan, hal yang kamu lakukan selanjutnya adalah nyari di di mana Dufan. Kalo nggak tahu jalan, lo jangan sok iye deh. Tanya. dibawa supir bus Wara-Wiri tau rasa lu. Makanya jangan sensi-sensi. #BiskwatYangAkuSuka

Petunjuk Kehidupan

Antriannya panjang kayak kisah cintamu yang meninggalkan aku demi bisa bersamanya

Jalan panjang menuju jodoh Dufan

"Yaampun, tiang, kawin yuk"

Jen (kiri): Ni cebong satu ngapain dah ngikut2


Kebetulan, gue pergi pas Dufan lagi promo lumayan gede. Jadi, kita bayar tiket 200k dan dapet voucher makan 100k sepuasnya. Tapi, ada restoran-restoran tertentu juga yang nggak bisa divoucherin sih. Jadi, fokuslah akan tujuan kehidupan restoran lo. #apalagisihlin

Jadi, gue sangat rekomendasi kalau pergi ke Dufan, cari waktu yang pas ada promo. Kalo bisa perginya sama jodoh. Ok.

Ebuset, patungnya sadar kamera

"Paan si ni orang di belakang poto-poto mulu kayak ibu-ibu lagi reuni"
                                    
Relationship status kamu yang mana nich?
Kurang deket

Kedeketan tapi nggak jadian
Lumayan deket tapi bukan siapa-siapa

Udah deket sih tapi ternyata dia dah punya suami, jadi gudbay~
Memang, punya model tak minta bayaran adalah best feeling in the world.

Oke, dan pasti kalian (nggak gitu) penasaran banget gue naik wahana apa sebagai pembuka. Sebelum itu, mari kita lihat tiket masuk Dufan beserta voucher dengan kualitas foto yang tumben nggak ngeblur.

Nggak usah dimiringin gitu monitornya...
voucher makan berangka 30 yang berarti hari terakhir di bulan April #magsa
My first ride. 
Ketahuilah itu gue nggak lagi ngewink..

Yap! Pertama kali, gue naik kora-kora. Iya, yang binatang bertempurung itu.
........
.....
...
..
.
Gais?

Review gue tentang kora-kora simple, sih. Intinya mah, digoyang ke atas ke bawah tuh ga enak. Kayak udah dinaikin ke atas, eh dijatohin lagi. Jantung serasa dikocok, kek milkshake mbak Ayu.

So, kalo emang pengen jadian, ya tembak. Kalo nggak mau jadian, ya udah dibletak aja. Susah amat.

Kemudian gue naik ontang-anting. Yang satu ini malah ngajak naik-naik sambil muter-muter. Tapi, muternya di situ-situ aja. Intinya mah, kalo mau kasih harapan yang tinggi, jangan cuma ke situ-situ lagi ngomongnya. Yang monoton itu nggak nikmat. Pada akhirnya harus turun juga, kan?

So, kalo mau bawa gebetan kalian ke restoran Skye, boleh. Tapi, kalo kalian ke sana setiap hari seolah-olah hidup selalu di atas, ya jangan. Sekali-kali ajak si doi juga lah ke tukang seafood pinggir jalan. Supaya mereka bisa merasakan enaknya digigitin nyamuk sambil makan seafood.

Jadi, jangan menganggap kebahagiaan selalu di dapat dari 'atas'.

Sori, pikiran gue memang terkadang melambung terlalu jauh.. sampe kadang bisa hilang sendiri. Nah, kan udah mulai hilang nih pikiran gue.

Oke.

Hayoloh ngeblank.

Ngeblank-ngeblank, emang point blank?

Sip. 

Oke, lanjut fokus. Sehabis naik ontang-anting, gue nyobain rollercoaster hits di Dufan, Halilintar. Karena teman-teman gue yang lain udah pada enek main yang aneh-aneh, jadilah gue cuma naik bertiga. Gue, temen gue, dan pacar temen gue.

Iya, emang nyamuk. Gak usah dikasih tau! Huft. *sewot sendiri*

Begitu perut mulai menunjukan tanda-tanda eneg, gue dan teman-teman akhirnya berisitirahat di wahana yang cukup untuk mengistirahatkan raga, The Panic House.

Dari namanya aja udah ketahuan kalau jantung kita akan dipacu lebih untuk merasakan wahana satu ini. Tapi, gue ini anaknya (cok) cool parah, jadi ya gue bilang aja, "Ya elah, palingan juga goyang sana sini nanti pas kita duduk. Nggak bakal kena liur monsternya juga, kok. Santai aja."

Apapun yang lo bilang, gue nggak percaya lo sesantai itu. Kelar.
Image result for the panic house dufan
Tampak depan Panic Hose yang bikin panik (sc: gugel)
Eaaaa, Housenya kurang U.

Yah, pada kenyataannya, gue emang lagi nggak bisa santai waktu itu. Kayaknya gara-gara celana yang gue pake berasa tipis dan gue takut celananya robek dan gue nggak bawa salinan.

Panic House itu sebenernya nggak seserem Kora-Kora atau Halilintar, sih. Karena, kita tinggal duduk terus tunggu aja setannya keluar. Yang horror tuh nungguin antrean kalo panjang. Hadeuh, apalagi kalo pas ngantri banyak lovey dovey. Yalord, bete nggak seh lo???

Alay.

Sori, gue memang sensitif soal jodoh. AKHEM.


Nggak deng. Aku kaum jojoba kok. Jomblo-jomblo bahagya.

Kelar ngantri panjang, gue dan teman-teman akhirnya memasuki area wahana. Waw. Pas masuk, suasanya gelap. Semuanya seakan sudah malam padahal belum. Waw. Deskripsi macam apa yang gue tulis barusan.

Selama film di The Panic House diputar, teman sebelah gue, Jeanne panik betulan. Sepanjang jalan kenangan, kita terus bergandeng tangan~

Jeanne nggak berhenti meremas lengan gue yang lembek kayak kerupuk melempem lupa dijemur ini. Dia seakan-akan merasakan paniknya dikejar monster yang ada di film. Sedangkan gue? Gue panik kalau-kalau si Jeanne bakalan kabur dari kursinya dan jadi monster yang kawinin gue. Serem juga.

Ya, paling nggak, lo dapet jodoh sih, Lin.

Ya, lumayan sih. Siapa tau nanti endingnya kayak film Shrek gitu. Kan imut. Hehe. He.

Akhirnya, filmpun selesai dan gue lanjut main burung. Burung muter-muter. Intinya kita mainan burung yang muter-muter di langit. Gue lupa nama wahananya apa, yang pasti kita bisa naik ke atas kalau kita muter-muterin kemudi burungnya. Memang ambigu sekali tujuan permainan yang satu ini.

Bisa jadi, burung-burung muter melambangkan kalau kita mau naik ke atas, kita harus sekuat tenaga muter-muterin kemudinya. Karena, burungnya nggak mungkin naik gitu aja. Jadi, hidup ini nggak ada yang nggak pake usaha. Ea. Mulai. Kebelet. Bijak.

Daripada bosen dan laper, kita makan dulu, yuk!

Gagal pose kendid as always. Yaudah.

Yeh, jangan ngegas dong Yun...
Mau di Dunia Fantasi kek, di dunia asli kek, makanannya teteup aja Mekdi. Yeelah.

MMS. Mata Minimalis Squad.

Memasuki mimpi buruk

Ngeblur karena seni.

Muka letih dengerin lagu Istana Boneka
Yap! Kita ke Istana Boneka. sumpah, gue jujur aja, ya. Gue nggak gitu suka sama boneka yang matanya ngedip. Sebenernya sih, wahana ini serem buat gue. Tapi, karena lagunya imut dan suhunya dingin, kondisi ini mendukung untuk terlelap sedikit. Ditambah alasan gue ingin image cool terus menempel di jiwa dan raga gue. Plus, eksistensi bisa didapat jika gue keren. Yek.

Dan selesailah perjalanan Dufan gue.
.
.
.
.
.

Berharap direaksiin "bentar amat", Lin?

Nggak deng boong, elah masih siang. Mana puas.

Selesai Istana Boneka, kita rame-rame main roller coaster kecil (kalo nggak salah nama wahananya binatang lucu sebelum ia bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Ya, kecoak.) yang ternyata gak seseram Halilintar tapi miringnya udah kayak menara Pisa ditimpa sama Monas. Busyet.

Nasib jomblo: foto-fotoin pasangan buat portofolio keterampilan foto ngeblur

Atau selfie sama pohon untuk menambah nilai plus cinta lingkungan

Ngantri wahana Ice Age yang panjangnya kayak perjalanan SunGoKong nyari kitab
Wahana Ice Age sejujurnya mirip wahana Arung Jeram/Niagara-Gara tapi versi cupunya. Walaupun dibilang merosot sampe 4 meter curamnya, tetep gaberasa karena gelap. Terus, di sana sama sekali nggak dingin. Kenapa? Climate change, bruh. Dia juga terjadi di Dunia Fantasi, bukan hanya di dunia nyata.

Pemanasan global sudah menjadi momok, so matiin lampu dan listrik lo sekarang tapi jangan tutup blog ini gimanapun caranya. (aku tetap haus akan eksistensi)

EHE.

Right after that, gue jalan-jalan sebentar muterin Dufan. Masukin rumah miring dan akhirnya nyampe di Arung Jeram. Gue mulai panik di sini karena baju ganti gue minimalis.

Juga ketidakmampuan gue untuk kepek-kepek di aer alias berenang,

ditambah gue belom punya pacar di kehidupan ini, kan sayang kalo nyebur dan basah.

Entahlah gue nggak ngerti juga korelasinya apa.

Mending kita lihat-lihat foto dulu yuk:



Aku dan 2 saudaraku yang selama ini pergi karena tak tahan dengan sikapku oh sedihnya diriku

ngadem

Ini sebenernya depannya arung jeram..

Kagak, gue kaga ke California elah.
Setelah arung jeram

Yunita(nk)

Bingung kenapa naek arung jeram basahnya nggak banget
Well, sebelum naik arung jeram, gue ketakutan setengah mati. Takut basah, takut licin, takut nyebur, takut salah urat pantat pas duduk, takut jodoh gue ternyata putra duyung, banyak deh. Tapi semua ketakutan gue hilang pas naik beberapa saat pantat gue menempel di tempat duduk perahu melingkat keramat itu.

"Kok gue tadi takut bener, ya?"

Saat pikiran itu terbesit, cipratan air membasahi setengah celana gue.

Namun, itu kali pertama dan terkahir air menjamah tubuh gue. Sehingga, tubuh gue pun tidak terlalu kuyup. Kalo nggak tar masuk angin kayak lagu Joshua.

Tolong dikontrol ya, Lin bahasanya. Mau marah.

DAAAAAn sampailah kita di penghujung acara, setelah naik Arung Jeram dan Dufan juga udah mau tutup, gue dan teman-teman akhirnya naik Bianglala.

Sebelum itu, kita makan eskrim Turki dulu.



when patung punya pantat lebih bulat dari lo. dan patungnya bocah cilik. thanks.

Fancy Shot yang failed (lagi)
Kadang hasil foto gue bagus...

 Kadang saking yakinnya hasil poto gue bagus,
gue terlalu pede sampe gemeteran..
Celana gue udah kering

Gue: Ayo mana muka senengnya mo naek bianglala...

Tipikal freindship potosyut yang unyu


backsound: Roma Irama-Darah Muda

Awalnya, gue pikir Bianglala bakalan ngebawa suasana chill dan romantis gitu pas udah di atas. Gue ngebayangin scene pernyataan cinta di drama-drama atau scene lamaran yang bikin ceweknya nganga-nganga bahagia. Apa lagi, kalo naeknya pas matahari udah pengen sembunyi lagi. Gile, pokoknya ngarep banget deng gue ditembak di sini.

Ternyata, semua ekspektasi gue berubah ketika bianglala mulai berputar. Sumpah, anginnya kenceng bener. Udah gitu, bianglalanya goyang sini-sono, bunyi-bunyi pula, ini mah romantisasinya gagal. Lu mau ngomong aja susah apalagi nyatain cinta kali, ya.

Cowok: Aku cinta kamu,
Cewek: Hah?
Cowok: Aku cinta kamu!!
Cewek: HAH? ADA CICAK DI KEPALA AKU? AHHHHHHHHHH

Endingnya si cewek lompat dari Bianglala, kandas sudah kisah cintanya.

Tapi, gue masih saranin kalian, para love dovey buat kencan di Bianglala pas matahari terbenam, karena pemandangannya sungguh beautiful seperti muka saya.

Lalu kalian boleh muntah setelah baca tulisan di atas.

Karena gue belom puas maen dan otak kekanak-kanakan gue lagi aktif, jadilah gue ngajak temen-temen naik merry go round. Sumpah, wahana paling seru di Dufan tuh ini. Rekomended banget.

DAN SARAN LAGI, naiknya jangan pas siang-siang. Lampunya nggak nyala. Lampunya bikin gairah tersendiri soalnya. Bikin mata lu jadi terbuka akan dunia karena keterangan di dalamnya.

Atau kesiloan sih.
Sebelum naik.

Ngeblur karena seni (2)

LIHAT BETAPA SENANGNYA

Yang mau dinyamukin silahkan hubungi saya

Kuda yang aku tunggangi, namanya TeJo. Teman Jomblo.
Menutup perjalanan ke Dufan kali ini, gue dan teman-teman snacking dulu, sekalian ngabisin voucher makan 100k.

"YASSS DUFAN LISTRIKNYA PASTI MAHAL"

Gorengan endol
Yha, setelah itu kami pulang kembali naik Transjakarta.

Seperti yang tidak diharapkan, gue sama Emily ketinggalan karena kami telat turun dan yang lain udah turun duluan. Jadilah kami harus maju terlebih dahulu ke pemberhentian selanjutnya dan kembali lagi ke pemberhentian yang harusnya kami turuni itu. Yalord, ribet bener kayak ikan cupang muntah benang kusut.

Layaknya kita harus kembali ke masa lalu kembali demi memperbaiki masa depan.

Silahkan anjay-i aku. Aku haus dianjay-i.

Terima kashyih.

Salam tenotnettetetetetet lagu Dufan,



Theniarti Ailin.