Monday, November 25, 2013

Jadilah Pembuka Mata

Suatu hari, tinggal seorang pengamen cacat di dalam sebuah kardus buangan pembungkus TV. Namanya Jaq. Ia tinggal sebatang kara. Orang tua Jaq membuangnya sejak dilahirkan, karena Jaq buta sepenuhnya sejak lahir.

Setiap hari, Jaq selalu berusaha mencari uang. Entah dengan mengamen, mencuci piring, bahkan jadi tukang parkirpun ia lakoni dengan sepenuh hati. Usia Jaq masih 15 tahun. Usia dimana anak-anak remaja lain sedang heboh-hebohnya memamerkan pacar mereka, sedang dengan "tidak tahu-dirinya" menghambur-hamburkan uang orang tuanya, dan usia dimana para remaja mulai sulit menerima apa yang sudah mereka punyai.

Ketika para remaja sedang melakukan semua hal itu, Jaq harus kuat mental tidap hari ditimpuki telur dengan segala orang kaya yang iseng. Harus banting tulang, walaupun ia buta dan masih belia, dan harus menerima kenyataan sulit bahwa ia buta dan ia telah dibuang orang tuanya.

Hari itu hari senin pagi yang hangat di Jogjakarta. Jaq menenteng-nenteng gitar lusuhnya, berjalan mantap menuju Candi Borobudur.

Sesampainya disana, ia merasakan kehadiran sebuah bus. Yang sepertinya bus ini berisi anak sekoalh yang sedang brekreasi. Terdengar jelas dari suara mereka yang riang gembira.

"Naik boleh juga, nih. Hehehe," kata Jaq dalam hati. Beberapa detik kemudian, sampailah ia di bus itu. Ia merasakan suasana yang hangat terhadap bus ini. Semua orang tertawa dengan keras, berbagi canda, dan lain-lain.

Satu per satu dari anak itu mulai menyadari keberadaan Jaq. "Eh! Ada pengamen!", kata seorang dari mereka.

Suasana bus langsung hening. Jaq memperkenalkan diri, "Selamat pagi semua. Namaku Jaq. Agak keren buat nama pengamen, sih. Hehehe. Kalo aku nyanyi disini kalian semua keberatan, gak?"

Semua anak tertawa ngakak, kemudian bilang, "Hahaha! Mau request lagu dong!!!"

Setelah seorang anak berkata begitu, seorang guru datang mausk ke bus, kemudian langsung menyambar dan me-request lagu. "Coba nyanyikan lagunya Ebiet G. Ade yang "Untuk Kita Renungkan'!"

"Yah ibu, masa lagu itu. Mana ada yang tahu buuuuu!!", keluh seorang anak.

"Kalian semua pasti akan kagum.", kata guru itu sambil tersenyum simpul.

Jaq memulainya dengan memetikan beberapa chords, kemudian mulai menyanyikannya.

"Kita masih telanjang dan benar benar bersih,
Suci lahir dan di dalam batin,
Tengoklah ke dalam sebelum bicara,
Singkirkan debu yang masih melekat"

Satu per satu anak mulai menyadarinya. Mata Jaq yang terbuka adalah buta. Mata Jaq yang dua-duanya daritadi menatap ke depan, ternyata adalah tatapan kosong. Semua murid mulai menganga lebar.

"Anugerah dan bencana adalah kehendaknya,
Kita mesti tabah menjalani
Hanya cambuk kecil agar kita sadar
Adalah dia di atas segalanya

Anak menjerit-jerit, asap panas membakar
Lahar dan badai menyapu bersih
Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat
Bahwa kita mesti banyak berbenah

Memang, bila kita kaji lebih jauh

 Dalam kekalutan, masih banyak tangan 
Yang tega berbuat nista... 
 oh, Tuhan pasti telah memperhitungkan
 Amal dan dosa yang kita perbuat 
Kemanakah lagi kita kan sembunyi 
Hanya kepadaNya kita kembali 
Tak ada yang bakal bisa menjawab 
Mari, hanya tunduk sujud padaNya

Ho ooo... Ho ooooh...
 
Kita mesti berjuang memerangi diri 

Bercermin dan banyaklah bercermin
 Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini
 Berusahalah agar Dia tersenyum... 
ho..du..du...du..du..du..du..du..du..du.
oh...ho...ho...ho...du..du..du..du.
Berubahlah agar
 Dia tersenyum"

Lagu selesai dinyanyikan, murid-murid mulai ada yang menangis. Mulai ada yang masih menganga semenjak tadi, sampai mereka semua sadar, lagunya sudah terselesaikan. Jaq bingung harus bicara apa. Mau meminta uang, ia takut, mau bilang terima kasih juga rasanya canggung sekali.

Seorang anak datang menghampirinya, "Jaq, you are such an amazing singer! Your guitar playing is... AWESOME, even, sorry, you are blind.. Lagu yang lo bawakan cocok banget sama kita-kita. Yang kadang gak mau bersyukur atas apa yang kita punya. Yang kadang gak mikir dulu kalo ngomong. Terima kasih Jaq, udah membuat hari pertama kita di Jogja jadi sangat indah. Oh ya by the way, nih."

Anak itu memberikannya selembar 50rb-an. Walaupun, Jaq tidak mengerti apa yang dikatakannya. Ia tetap tersenyum dan menghargainya.

Guru yang tadi me-request lagu, mengambil mic, dan mengambil posisi disebelah Jaq. Ia berbicara kepada para muridnya, "Anak-anak, kalian semua tahu dia adalah seorang tunanetra. Ia bisa main gitar, ia masih bisa tersenyum, ia masih bisa bercanda tadi, walaupun ia buta. Coba kalian lihat diri kalian sendiri, contohnya kemaren malam, gak bisa tidur aja mengeluh terus. Lapar, mengeluh, apa-apa mengeluh. Apa kalian tidak tahu banyak orang yang tidak seberuntung kalian? Hai, Nak. Coba ceritakan tentang hidupmu selama ini."

Jaq kebingungan, kemudian ia menjawab, "Umurku masih 15 tahun. Aku tinggal di sebuah kardus TV lusuh yang kalo disenggol mungkin langsung robek. Aku dibuang oleh orang tuaku sejak masih kecil, karena aku tunanetra. Aku harus berusaha membanting tulang untuk mendapat uang. Dan aku ingin sekali punya teman dan aku ingin sekali belajar di sekolah. Setiap hari aku ditimpuki telur busuk dengan anak-anak sekolah. Terus, karena aku gak punya teman, jadi gak ada yang bela, deh. Hehehe. Setiap hari belajar di kardus terus, jadi sumpek. Kan gak enak, aku selalu berharap aku bisa sekolah seperti kalian ini. Hehehe. Pasti asyik, ya."

Jaq melanjutkan kata-katanya yang kepanjangan itu, "Aku ngomongnya kepanjangan, ya. Hehehe. Makanya, kalian harus bersyukur, ya. Setiap masalah yang menimpa kalian itu pasti ada pelajarannya. Mungkin ini udah pasaran banget kata-katanya. Tapi, memang bener, loh. Oh ya, kalo misalnya kalian semua ini mengalami sebuah ketidakberuntungan, maka yakinlah hari esok lebih baik. Yakinilah, sebuah ketidakberuntungan itu adalah awal bagi sebuah keberuntungan besar. Hehehe. Sorry, nih jadi kepanjangan. Jangan ngantuk, ya. Hehehe."

Satu persatu murid mulai maju dan menyalami Jaq, mereka memberikan sejumlah uang, kadang ada yang memberikan makanan, dan lain-lain.

Setelah Jaq bergegas untuk pergi, guru yang tadi mengucapkan sesuatu padanya, "Hey. Terima kasih telah membukakan mata murid-murid saya. Walaupun kamu buta, yakinilah, kamu selalu bisa membukakan mata orang-orang normal. Tuhan menciptakanmu untuk menjadi seperti itu. Jadi, jangan pernah gak bersyukur, walaupun kamu buta. Sekali lagi terima kasih."

Jaq bergegas pergi, kata-kata ibu guru tadi terus terngiang di otak dan hatinya, "Jadilah pembuka mata bagi orang normal, walaupun kamu buta."

-the end-

No comments:

Post a Comment